Jamak shalat merupakan pelaksanaan dua shalat fardu dalam satu waktu: Zhuhur dan Asar atau Maghrib dan Isyak. Jika dilakukan di waktu shalat pertama (Zhuhur atau Maghrib), disebut Jamak Taqdim, dan jikan dilakukan pada waktu shalat kedua (Ashar dan Isya’) dinamakan Jamak Ta’khir.
Dalam fikih, jamak shalat termasuk bagian dari rukhshah atau dispensasi syara’. Rukhshah jamak ini, diberikan kepada yang melakukan perjalanan panjang. Selain shalat Jamak, juga diperbolehkan melakukan Qashar shalat, empat rakaat dikerjakan dua rakaat. Rukhshah ini, karena untuk kemudahan saat ada mazhinnah al-masyaqqah.
Namun demikian, dalam aktivitas sehari-hari, kadang seseorang mengalami kesulitan untuk mengerjakan tepat waktu. Termasuk di dalamnya, bagi mempelai pengantin, yang dirasa kesulitan untuk melaksanakan shalat tepat waktu.
Dalam tradisi yang marak di tengah masyarakat kita, seorang pengantin, terlebih mempelai wanita dirias sedemikian rupa, bahkan dalam proses riasannya membutuhkan waktu berjam-jam. Berlanjut setelah sempurna dirias, pengantin tidak kemudian menghapus riasannya, sebab rangkaian acara demi acara menuntut sang pengantin tetap berjibaku dengan dandanannya.
Pertanyaannya kemudian adalah, sahkah wudu pengantin yang pada wajahnya masih terdapat baluran make-up? Dan, mungkinkah pengantin melaksanakan shalat dengan dijamak?
Terkait dengan makeup, perlu meninjau jenis dan ketebalan make-up yang digunakan. Pada intinya, jika menghalangi air masuk menyentuh kulit wajah secara sempurna, tentu wudu tidak sah. Termasuk saat makeup mempengaruhi wajah saat melakukan pembasuhan.
Hal yang benar untuk dilakukan saat wudhu adalah, dengan menghilangkan makeup yang menempel terlebih dahulu. Setelah semuanya bersih, dilanjut dengan melaksanakan serangkaian rukun wudu’.
Soal pelaksanaan jamak shalat bagi pengantin, dalam Mazhab Syafi’i terdapat tiga udzur yang memperbolehkan seseorang melakukan jamak salat: sakit, hujan deras atau dalam perjalanan dengan jarak tempuh jauh, setidak mencapai 81 km. Jika melihat ketentuan ini, pengantin dengan alasan makeup dan acara, tidak boleh melakukan jamak shalat.
Akan tetapi, sebagian ulama mazhab Syafi’i ada yang menyatakan, seseorang yang tidak sedang dalam perjalanan, tidak sakit atau terdapat hujan boleh menjamak salatnya ketika ada hajat. Hal ini, asal tidak dijadikan kebiasaan.
Terkait dengan hal ini, dapat dibaca dalam Tarsyīhul-Mustafīdīn Hâsyiyah Fathil Mu’īn, Sayid Alwi bin Ahmad Assegaf, halaman: 134. Termasuk juga dalam kitab Bughyatul-Mustarsyidīn, Sayid Abdurrahman Ba Alawi, halaman: 77.
Dengan mengikuti pendapat ulama terakhir ini, hajat berarti menjadi salah satu dari sekian hal yang memperbolehkan jamak. Hanya catatannya, jamak dengan alasan hajat ini, tidak dijadikannya sebagai kebiasaan. Dengan demikian, kebolehan jamak ini tidak khusus pada mempelai pengantin saja.
Sisi lain yang perlu diperhatikan, terlebih bagi mempelai wanita yang ber-makup tebal dan merata, sehingga tidak menyisakan bagian apa pun pada kulit dahi untuk digunakan sujud, maka sujudnya tidak sah. Sebab salah satu syarat sujud adalah dahi harus terbuka. Dengan artian, tidak ada penghalang antara kulit dahi dengan tempat sujud.
Hal ini, seperti halnya orang yang sujud pada tanah kemudian menempel di dahi. Saat sujud kedua, tanah yang menempel dan merata pada dahi, wajib dihilangkan. Sebab, tanah bisa menjadi penghalang antara dahi dan tempat sujud. (Lihat: Hasyiyah I’ânatut-Thâlibīn, Jilid I, halaman 278)
Kebolehan ini, bukan tanpa catatan. Sebagai dispensasi atau rukhshah, kaidah besarnya, “Rukhshah tidak pernah dikaitkan dengan praktik kemaksiatan apa pun”.
Dari kaidah ini, pengantin tidak boleh jamak shalat ketika dalam hajatannya terdapat praktik kemaksiatan. Termasuk mempelai wanita yang menampakkan aurat semisal rambut, leher dan dada atau mempertontonkan dandanannya kepada laki-laki yang bukan mahram. Sekali lagi, kemudahan syariat tidak pernah didapat dengan disertai perbuatan maksiat!