Dalam Islam, kufur adalah dosa tertinggi. Kufur dimaksud adalah soal akidah, bukan kufur nikmat, yang juga termasuk dalam hal yang buruk dalam Islam. Namun demikian, bagaimana dengan keberadaan Bid’ah, yang kadang memunculkan narasi kufur?
Sejarawan sekaligus ahli hadis, Syaikh Syamsuddin badz-Dzahabi kitab-nya, Siyaru A’lamin Nubala’ mengutip kisah menjelang wafat Imam Abi al-Hasan al-Asy’ari. Zahir bin Ahmad as-Sarkhasy menceritakan:
لَمَّا قَرُبَ حُضُوْرُ أَجل أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِيِّ فِي دَارِي بِبَغْدَادَ، دعَانِي فَأَتَيْتُه، فَقَالَ: اشهدْ عليَّ أَنِّي لاَ أَكفِّر أَحَداً مِنْ أَهْلِ القِبْلَة، لأَنَّ الكلَّ يُشيَرَوْنَ إِلَى معبودٍ وَاحِد، وَإِنَّمَا هَذَا كُلُّه اخْتِلاَف العِبَارَات.
“Saat Abi al-Hasan al-Asy’ari menjelang ajal di rumahku di Baghdad, ia memanggilku, aku mendatanginya, dan ia mengatakan, ‘Saksikan bahwa aku tidak pernah mengafirkan ahli kiblat, karena semuanya menyembah pada satu Tuhan. Semua ini, hanya perbedaan ibarat.'”
Hal ini memberi pelajaran bagaimana ulama salaf tidak mudah mencap orang Islam telah kufur, karena telah dinilai “sesat” dalam akidah. Mengeluarkan orang yang bersyahadat dan shalat, dari agama Islam adalah tindakan yang salah. Apalagi, hanya karena perbedaan pemahaman, dari dalil-dalil keagamaan yang memang terbuka untuk ditafsirkan dan dipahami. Mestinya bukan menvonis, tetapi mendiskusikan, dan kalau tak bisa ditemukan, asalkan ada pijakan dalil, persoalan selesai. Berarti itu dalam ranah ikhtilafiyah.
Sebab, menvonis kufur, bisa berbalik arah. Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah:
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari)
Termasuk juga hadits:
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim)
Imam al-‘Ala’ Ibn Ziyad pernah mengatakan:
عَنِ العَلاَءِ بنِ زِيَادٍ، قَالَ: مَا يَضُرُّكَ شَهِدْتَ عَلَى مُسْلِمٍ بِكُفْرٍ، أَوْ قَتَلْتَهُ
“Sesuatu yang membahayakanmu adalah persaksianmu kepada orang Islam, dengan menghukumi kafir dan membunuhnya”.
Jadi, tidak mundah mencap seorang yang jelas muslim, sebagai kafir. Kalaupun toh, mereka telah melakukan bid’ah – itu pun dalam tanda kutip jelas dan disepakati – tidak sama dengan kafir asli, yang memang mengingkari Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah.
Artinya, ketika ia bersyahadat, tapi melakukan tindakan atau menyampaikan perkataan yang bisa merusak akidah, tak bisa disamakan dengan kufur asli. Dalam hal ini, adz-Dzahabi menulis dalam kitab Suyar-nya:
وَمَنْ كُفِّرَ بِبِدْعَةٍ – وَإِنْ جَلَّتْ – لَيْسَ هُوَ مِثْلَ الكَافِرِ الأَصْلِيِّ، وَلاَ اليَهُوْدِيِّ، وَالمَجُوْسِيِّ، أَبَى اللهُ أَنْ يَجْعَلَ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَاليَوْمِ الآخِرِ، وَصَامَ، وَصَلَّى، وَحَجَّ، وَزَكَّى – وَإِنِ ارْتَكَبَ العَظَائِمَ، وضَلَّ، وَابِتَدَعَ – كَمَنْ عَانَدَ الرَّسُوْلَ، وَعَبَدَ الوَثَنَ، وَنَبَذَ الشَّرَائِعَ، وَكَفَرَ، وَلَكِنْ نَبْرَأُ إِلَى اللهِ مِنَ البِدَعِ وَأَهْلِهَا
“Orang yang dikafirkan sebab bid’ah–meski sudah jelas–bukan seperti orang kafir asli, Yahudi dan Majusi. Allah tidak mau menjadikan orang yang beriman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, berpuasa, shalat, haji dan zakat, meski melakukan dosa besar, sesat dan bid’ah, seperti orang yang menentang Rasulullah, menyembah patung, meninggalkan syariah, dan kafir. Hanya saja, kita mohon kepada Allah agar membebaskan kita dari bid’ah dan pelaku bid’ah.”
Nah, sekarang bagaimana menyikapi “bid’ah” yang sering disuarakan? Dalam Islam, keberadaan bid’ah, memang disepakati, karena memang disampaikan oleh Rasulullah. Namun, bentuk amalan, perkataan, atau apa pun itu, yang berkategori bid’ah masih diperdebatkan.
Dengan demikian, tentu semakin sulit untuk menvonis seorang muslim sebagai palaku bid’ah, apalagi sampai sesat, dan bahkan kufur. Intinya, jangan mudah, menggunakan kata sesat, apalagi kafir, kepada sesama muslim yang hanya beda pemahaman.