Dikisahkan oleh Imam Hadits Adz-Dzahabi dalam Al-Kabâir-nya, Al-Hafidz Ibn al-Jauzi di dalam karyanya Al-Birr wa Ash-Shilah dan dikisahkan pula oleh ulama pakar fikih Mazhab Hanbali Imam Ibn Qudamah di dalam Kitâb At-Tawwâbîn, terdapat sebuah keluarga dari keturunan Rasulullah -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- tinggal di Kota Balkh (Afganistan).
Keluarga ini dianugerahi kelapangan harta dan kenikmatan, namun setelah sang suami meninggal dunia, keluarga ini jatuh miskin. Serba kekurangan dan kefakiran melanda sang syarifah dan beberapa anak perempuannya. Ia merasa untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya sudah berada pada fase dihalalkannya meminta-minta.
Akan tetapi, hatinya merasa berat jika harus meminta-minta di kota yang penduduknya mengenali mendiang suaminya. Ia pun memutuskan pergi membawa anak-anak perempuannya ke kota Samarkand (Usbekistan) dan singgah di sebuah masjid. Sang ibu meninggalkan anak-anaknya di masjid dan berpesan agar tidak kemana-mana sedang ia akan mencari makanan untuk mereka.
Dia menuju ke sebuah pasar dan mendapat seseorang tengah dikerumuni para jamaahnya. Ia bertanya kepada salah seorang di sana:
“Siapa dia?”
“Seorang syaikh, tokoh agama”
Ada harapan dirasakan olehnya mendengar sosok di hadapannya adalah seorang pemuka agama. Setidaknya dia akan menghormati dirinya sebagai keturunan Rasulullah -shallallâhu ‘alaihi wa sallam-.
Ia pun bergegas menghampirinya dan berkata dengan lirih sembari mengisahkan kondisinya yang memprihatinkan:
“Aku seorang alawiyah, sedang putri-putriku aku tinggalkan di masjid. Aku berharap malam ini ada makanan untuk mereka”
“Apa buktinya, adakah seorang saksi bahwa kau betul-betul seorang syarifah alawiyah?”
“Aku pengembara, tidak ada satupun yang mengenaliku”
Mendengar jawaban ini, sang syaikh memalingkan wajah tanpa menghiraukannya. Dan sang syarifah berlalu tanpa kata dengan membawa hati tercabik-cabik penuh kecewa.
Di tempat yang berbeda ia melihat seorang lelaki yang bernampilan kaya serta dikerumuni banyak orang. Ia pun bertanya kepada sebagian orang:
“Siapa dia?”
“Dia seorang majusi (penyembah api) yang kaya raya”
Syarifah yang menanggung para gadis yatim ini bergegas menghampiri seorang majusi tersebut dan berkata seperti yang ia katakan sebelumnya kepada pemuka agama itu. Dia berkisah bahwa ia seorang alawiyah pengembara dengan membawa anak-anak perempuan yang berada di masjid sedang kelaparan. Dia pun bercerita telah mendatangi tokoh agama namun dicampakkan begitu saja. Majusi ini merespon dengan sangat baik, ia memerintahkan pembantunya untuk menjemput anak-anak syarifah di masjid untuk ditempatkan di rumahnya. Sambutan hangat, jamuan mewah dan pakaian bagus diulurkan oleh si majusi kepada mereka.
Di malam harinya, sang pemuka agama bermimpi kiamat telah terjadi. Sedang ‘bendera’ telah berada di atas kepala mulia Nabi Muhammad -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- sang pemberi syafaat. Di dalam mimpinya ia melihat istana megah dari jamrud berwarna hijau. Ia mendekat kepada Baginda Nabi dan bertanya:
“Ya Rasulallah, milik siapa istana megah ini?”
“Milik muslim muwahhid, orang Islam yang mengesakan Tuhannya” jawab Baginda Nabi.
“Ya Rasulallah, aku seorang muslim muwahhid”
“Apa buktinya kau seorang muslim muwahhid?”
Pemuka agama ini kebingungan dan menyadari ia tidak mampu memberikan bukti dan mendatangkan saksi bahwa ia adalah seorang muslim yang mengesankan Allah.
Lalu Rasulullah -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- menimpali:
“Ketika ada seorang wanita keturunanku berharap bantuan kepadamu tidakkah kau berkata: apa buktinya, mana saksinya? Begitu pula saat ini aku bertanya kepadamu: apa buktinya bahwa kau seorang muslim muwahhid?”
Syaikh tersebut terbangun dengan perasaan amat sedih. Ia menyesali perlakuannya terhadap seorang wanita yang ia temui siang tadi. Tanpa berpikir panjang ia keluar mencari wanita tersebut menelusuri lorong-lorong kota dan bertanya-tanya kepada setiap orang yang ia temui hingga pada akhirnya ia mendapatkan informasi bahwa wanita tersebut bermalam di rumah seorang majusi lalu ia menuju ke sana.
“Aku berharap kau menyerahkan seorang wanita keturunan Nabi itu beserta putri-putrinya” pinta syaikh tersebut”
“Tidak bisa. Sungguh aku merasakan keberkahan lantaran mereka”
“Sebagai gantinya, ambillah 1.000 dinar ini dan serahkan mereka kepadaku”. Tidak main-main, ia berani membayar uang senilai 4.000 gram emas hanya agar bisa menebus kesalahannya.
“Tidak!” tegas ia menolaknya.
Lalu ia melanjutkan:
“Yang kau inginkan telah jadi milikku. Istana yang kau lihat di dalam mimpi juga aku lihat di dalam mimpiku dan itu telah menjadi milikku. Demi Allah, menjelang tidur, aku dan seluruh keluarga memeluk Agama Islam, bersyahadat di tangan wanita alawiyah ini. Aku bermimpi sebagaimana mimpimu dan Rasulullah bertanya kepadaku: Apakah wanita keturunanku berada di rumahmu? Aku menjawab; iya. Lalu Rasulullah berkata kepadaku: Istana itu milikmu dan keluargamu. Kalian penduduk surga.”
Sang pemuka agama tadi pulang dengan perasaan yang amat sangat sedih dan pedih.
iassmedia/red
Subhānallah….
Allahumma Shollī Ālã Sayyidinā Wā Maulanā Muhammād, Wá Āla Alihi Wā Ashābih
Sangat membantu kami untuk menambah rasa cinta kepada ahlul baitinnabi muhammad