Iddah adalah kewajiban seorang wanita pasca berpisah dengan suaminya dengan tujuan membersihkan rahim dan/atau bentuk kepatuhan terhadap ketentuan syariat (baca: ta’abbud).
Terdapat dua penyebab perpisahan:
a) Perceraian baik talak atau fasakh
b) Kematian suami
Sedangkan status wanita dalam iddah terbagi menjadi lima:
a) Gadis kecil (belum baligh)
b) Wanita dewasa (baligh) yang masih produktif (aktif menstruasi) dan telah “berhubungan intim” dengan suaminya
c) Wanita dewasa produktif dan belum pernah berhubungan intim
d) Wanita lanjut usia yang telah berhenti menstruasi (menopause)
e) Wanita hamil
Dengan kedua pembagian di atas, massa iddah terbagi atas empat ketentuan:
(1) Empat bulan dan sepuluh hari bagi wanita yang berpisah lantaran kematian suaminya. Ketentuan masa iddah ini mencakup semua status wanita di atas kecuali wanita hamil.
Adapun penghitungannya menggunakan kalender Hijriah baik menjalani bulan berjumlah 29 hari atau 30. Hanya saja ketika awal iddah jatuh pada pertengahan bulan, jumlah hari bulan pertama disempurnakan 30 hari pada bulan kelima lalu ditambah 10 hari.
Contoh: Wanita yang suaminya meninggal pada tanggal 16 Jumadal Ula 1443 H.
Jumlah hari:
1- Jumadal Ula 29 Hari
2- Jumadal Tsaniah 29 Hari
3- Rajab 30 hari
4- Sya’ban 30 hari
5- Ramadhan 29 hari
Pada bulan pertama (Jumadal Ula) wanita tersebut menjalankan masa iddahnya selama 13 hari terhitung sejak tanggal 16 sampai tanggal 29. Bulan kedua, ketiga dan keempat dijalani secara utuh. Selanjutnya, pada bulan kelima yakni Ramadhan dia harus melengkapi kekurangan bulan pertama dengan menambah 17 hari. Dengan ini lengkaplah 4 bulan. Setelah itu ditambah 10 hari. Jadi, iddahnya selesai pada tanggal 27 Ramadhan 1443 H.
Masih saja banyak yang beranggapan iddah wanita dalam ini tuntas setelah berlalu 100 hari kepergian suaminya. Tentu kesalahan fatal sebab menyalahi ketentuan syariat yang tertuang dalam Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman:
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍۢ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalia dan meninggalkan para istrinya, maka mereka (para istri) menanti empat bulan serta 10 hari” [QS: Al-Baqarah: 234]
(2) Tiga bulan (kalender hijriah) bagi gadis belum baligh dan wanita menopause lantaran perceraian; talak atau fasakh. Perhitungan bulan sama seperti penjelasan sebelumnya di mana jika dimulai dari pertengahan bulan maka pada bulan ke-empat disempurnakan 30 hari.
Dalam batas minimal usia menopause terdapat enam pendapat berbeda di kalangan ulama. Pendapat yang paling masyhur dari ke-enam tersebut adalah 62 tahun hijriyah. Sedang yang paling rendah adalah 50 tahun, tidak ada pendapat ulama yang menyatakan usia menopause di bawah 50 tahun.
(3) Tiga kali masa suci bagi wanita dewasa lantaran perceraian yang sebelumnya pernah digauli oleh suaminya. Yang harus diperhatikan, masa suci pertama sebagai permulaan masa iddah adalah masa suci yang steril dari hubungan intim. Sehingga, jika dalam masa suci sebelum dicerai sang istri digauli oleh suaminya, masa suci tersebut tidak dihitung sebagai masa iddah. Melainkan beralih pada masa suci selanjutnya setelah haid. Sebaliknya, apabila tidak digauli, masa suci tersebut langsung dihitung kendatipun hanya selama beberapa menit saja.
Ada persoalan ketika dalam pertengahan menjalani masa iddah, haid tidak kunjung datang.
Dalam Mazhab Syafi’i wanita tersebut tetap harus menunggu datang bulan untuk menghitung satu siklus sucinya. Jika kondisi ini berkelanjutan, iddahnya tentu tidak akan selesai hingga menginjak usia menopause, lalu berpindah menjalani iddah menopause yakni menggunakan perhitungan bulan. Artinya, jika semisal sebelumnya sudah menjalani satu kali suci kemudian menstruasi tidak kunjung datang, setelah usia menopause ditambah dua bulan. Jika sebelumnya telah menjalani dua kali suci, setelah menopause ditambah 1 bulan.
Barang tentu hal ini terasa berat. Maka, sebagai solusi dapat melihat literatur lain. Dalam Qaul Qadim; pendapat kuno Imam Syafi’i dijelaskan bahwa apabila haid yang tidak kunjung datang dilatarbelakangi oleh penyebab yang jelas seperti mengidap penyakit dan lainnya, ketentuannya sama seperti di atas, yakni menunggu usia menopause. Akan tetapi ketika berhentinya haid tidak diketahui apa penyebabnya, maka dia menjalani iddah selama sembilan bulan yang sejatinya adalah masa lumrah kehamilan. Sebab tujuan iddah dalam hal ini adalah menyeterilkan rahim. Tidak hanya berhenti di situ, setelah 9 bulan dijalani lalu ditambah tiga bulan sebagaimana wanita tidak haid. Sekali lagi, ketentuan ini bagi yang haidnya terputus tanpa ada kejelasan penyebabnya. Akan tetapi berdasarkan tujuan utama iddah ini untuk menyeterilkan rahim, Imam Al-Barizi berfatwa bahwa wanita yang penyebab berhentinya haid jelas sama seperti yang tidak ada kejelasan penyebab. Sehingga bisa mengikuti Qaul Qadim-nya Imam Syafi’i: sembilan bulan sebagai usia lumrahnya kehamilan ditambah tiga bulan tanpa meninjau kejelasan atau tidaknya penyebab. Menurut beliau, menunggu sampai menopause tentu memberatkan apalagi bagi wanita yang masih muda.
Catatan: “Bulan” dalam perhitungan kehamilan bukanlah kalender hijriyah, melainkan hitungan genap 30 hari.
(4) Melahirkan bagi wanita hamil, baik perpisahan lantaran kematian suami atau perceraian. Dalam hal ini, kelahiran yang dimaksud adalah persalinan bayi secara sempurna. Termasuk jika kembar maka iddah selesai setelah persalinan bayi kedua.
Tidak hanya bayi normal, bayi terlahir meninggal, bayi prematur atau keguguran gumpalan daging (mudghah) memiliki konsekwensi hukum yang sama dalam persoalan iddah ini. Hanya saja, iddah dianggap selesai sebab keguguran gumpalan daging dengan memenuhi salah satu kriteria berikut:
a) tampak jelas bentuk manusia seperti tangan, kaki, jemari dan lainnya
b) tampak bentuk manusia namun samar-samar bagi selain ahli medis. Dalam hal ini harus ada pernyataan ahli
c) tidak tampak bentuk manusia namun ahli medis menyatakan hal itu adalah cikal bakal manusia yang seandainya tidak terjadi keguguran, tentu akan berproses membentuk manusia. Sehingga, apabila tim medis ragu, iddah tidak dinyatakan selesai sebab keguguran ini.
Sedangkan keguguran berupa gumpalan darah (‘alaqah) tidak menjadi penentu selesainya iddah.
Wallâhu a’lam.