Seorang anak bertengkar dengan ibunya. Pertengkaran sengit, hingga sang ibu mengusirnya dari rumah. Akhirnya, sang anak meninggalkan rumah. Ia berjalan tanpa tujuan, dan akhirnya sadar bahwa dirinya pergi tidak membawa uang sama sekali.
Rasa lapar menyapanya. Perutnya terus memberontak, karena seharian tidak diasupi makanan. Ia berdiri di depan sebuah warung makan, dan hanya bisa memandang orang-orang yang menikmati makanan dengan menu masakan yang beraneka ragam.
Sang pemilik warung mengamati anak tersebut cukup lama, karena ia berdiri di depan warungnya, tanpa memesan makanan. Hanya memandang dan mengelus perutnya. Ia pun menyapa anak tersebut.
“Nak, apa engkau akan memesan makanan?”
“Ya, tapi saya tidak punya uang” jawab sang anak memelas.
“Tidak apa-apa, aku akan memberimu gratis”
Dengan lahapnya, anak itu menyantap makanan yang diberikan pemilik warung. Sejurus kemudian, matanya berkaca-kaca. Buliran air mata menetes.
Pemilik warung bertanya, “Ada apa, Nak. Kok menangis?”
“Tidak apa-apa. Saya hanya terharu, karena Bapak yang baru saya kenal memberi makanan gratis, sementara ibu saya mengusirku dari rumah.”
“Nak, kenapa kamu berpikir seperti itu? Saya hanya memberimu sepiring makanan, engkau begitu haru, sementara ibumu merawat, memasak nasi, lauk pauk, setiap hari. Bertahun-tahun ibumu melakukan itu, sampai kamu dewasa. Seharusnya, engkau pikirkan itu dan berterima kasih kepadanya.”
Anak tersebut terkesiap kaget, bergegas pulang. Di depan pintu, sang ibu menanti dengan harap cemas. Ketika melihat anaknya pulang, keluar dari mulut sang ibu, “Nak, kau sudah pulang. Cepat masuk. Ibu telah menyiapkan makanan malam.”
Mendengar itu, sang anak menangis, merangkul dan mencium kaki ibunya.
***
Kita sering melupakan kebaikan yang sudah sering kita terima, dan dengan satu kesalahan saja emosi dan amarah meluap-luap sembari memuntahkan rasa kebaikan yang telah diterima. Terlalu nikmat merasakan fungsi indera, sehingga lupa betapa besar nikmat itu diberikan, sejak kita lahir. Terlalu nikmat diberikan orang tua yang dengan semua pengorbanannya merawat dan mendidik, sehingga lupa terhadap nikmat itu.
Terkadang, saat kita terbelit oleh kesulitan ekonomi, emosi meluap seolah-olah Allah telah melupakan kita. Sementara, kebaikan-Nya telah diberikan sejak Allah mempertemukan orang tua kita; menjadi cikal bakal kelahiran kita di dunia. Allah melunakkan hati orang tua kita hingga dengan sabar, tanpa ada rasa beban merawat kita hingga menjadi dewasa.
Namun, karena kebaikan itu dialami dan diterima dalam keseharian kita, sering kita lupakan. Seolah itu hal yang biasa dalam hidup. Sementara, pemandangan dan pemberitaan sering kita temukan, ada anak yang dibuang, anak yang terlantarkan, hingga anak yang dijual oleh orang tuanya. Apa yang terjadi, jika itu adalah kita?
Kehadiran orang tua adalah kunci surga bagi kita, terutama ibu. Ibu, dengan sabar menunggu kehadiran kita, sejak ada benih-benih kehidupan. Pegal dan muntah adalah kebahagiaan bagi ibu. Tetangga bertanya, hamil? Dengan bangga ibu kita menjawab, ya.
Namun kemudian, semuanya seolah terlewati karena itu hal lumrah terjadi, dalam keseharian, pada diri dan lingkungan kita. Pada akhirnya, kebiasaan itu menjadikan kita terlena pada nikmat yang telah diterima. Dari itulah, mengapa Allah mengurai kepatuhan kepada dua orang tua dengan pengorbanan yang telah dilakukan mereka, kemudian diberikan petunjuk untuk bersyukur.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah serta menyapihnya dalam dua tahun. Agar bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orangtua kalian. Hanya kepada-Ku lah kamu kembali. (Luqman: 14)