Suatu ketika, Sahabat Nabi Muhammad saw bernama Jundub bin Abdillah menemui orang-orang yang sedang belajar al-Qur’an. Saat itu, ia mengingatkan mereka, bagaimana pendidikan yang diberikan oleh Rasulullah terhadap sahabatnya. Ia mengatakan:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ ، فَتَعَلَّمْنَا الإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ، ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ , فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا فَإِنَّكُمُ الْيَوْمَ تَعَلَّمُونَ الْقُرْآنَ قَبْلَ الإِيمَانِ.
“Dulu kami saat bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam sebelum dewasa. Rasulullah mengajarkan kami iman sebelum kami belajar al-Quran. Ketika kami belajar al-Quran, maka bertambahlah iman kami. Adapun kalian hari ini belajar al-Quran sebelum Iman.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah, Thabrani, dan Baihaqi. Dari hadis ini, tergambar bagaimana proses pendidikan terhadap keluarga muslim yang benar; mendahulukan pendidikan iman sebelum memberikan pengetahuan yang lain, termasuk apa yang terkandung dalam al-Qur’an.
Kita perhatikan pada hadis di atas mengenai model pendidikan Rasulullah. Maksud dari Hazawirah adalah anak sebelum baligh. Dengan demikian, berarti pada usia rata-rata 10 tahun Rasulullah telah menanamkan rasa iman pada mereka. Setelah keimanan terasa kuat pada mereka, baru diajarkan al-Qur’an sehingga keimanan mereka bertambah. Inilah tahapan dalam pendidikan Islam yang kemudian menciptakan kejayaan dalam moral dan politik pada kejayaan Islam awal.
Hal seperti ini, tampak berbeda dengan kondisi pendidikan saat ini, saat orang tua berlomba-lomba menanamkan ilmu pengetahuan sebelum keimanan begitu kuat pada hati anak. Kalau tidak mampu memahami al-Qur’an dengan baik, orang tua demikian susah dan galau. Padahal, ada yang lebih penting dari itu, yakni keimanan pada hati anak. Setelah keimanan menjadi kuat di hati mereka, baru pemahaman tentang al-Qur’an bisa disajikan, seperti cara beribadah dan lain sebagainya.
Sebagaimana digambarkan oleh sahabat Jundub, rendahnya kualitas para tabi’in saat itu, karena belajar al-Qur’an sebelum keimanan kuat di hati mereka. Padahal, rendahnya kualitas tabi’in yang digambarkan oleh sahabat Jundub hanyalah tahapan yang terbalik dalam pendidikan anak, tidak meninggalkan keduanya sama sekali. Lantas, bagaiamana dengan model pendidikan saat ini? Sudah bisa menjadi gambaran konkret dari pola pendidikan terbalik, atau bahkan tidak sama sekali; sepi dari penanaman iman dan jauh dari pendidikan agama melalui al-Qur’an.
Dengan demikian, pendidikan keimanan merupakan keniscayaan yang mendasar untuk mencetak generasi tangguh pada masa yang akan datang. Keimanan ini meliputi kepercayaan terhadap Allah, Nabi Muhammad sebagai utusan, malaikat, kitab-kitab-Nya, adanya hari akhir dan takdir Allah. Semua komponen dalam rukun iman harus diperkenalkan sedini mungkin, terutama menyangkut kepercayaan bahwa Allah adalah pencipta manusia dan alam semesta.
Kita telah sepakat bahwa pendidikan untuk anak menjadi suatu kebutuhan penting dalam melahirkan generasi yang hebat. Lembaga pendidikan pun terbangun, meski pendidikan tidak harus di lembaga pendidikan karena proses pendidikan, bisa dilakukan di mana dan kapan pun. Namun demikian, model seperti apakah yang bisa dilakukan untuk anak-anak kita?
Perkembangan zaman memang telah menampakkan kemajuannya, termasuk dalam dunia pendidikan. Orang tua tinggal memilih, pendidikan seperti apa yang diinginkan untuk anak-anaknya, sehingga hasil seperti apa yang hasil yang diinginkan sudah tergambar jelas.
Hal penting diperhatikan, mendahulukan pendidikan iman sebelum pendidikan yang lain ini, merupakan proses pendidikan Islam terbaik yang telah dilakukan pada masa awal kemunculannya. Proses pendidikan yang kemudian membentuk karakter kuat umat Islam demikian tangguh, dan jauh dari liberalisme berpikir dalam memahami agama.
Sebelum pendidikan diarahkan pada kandungan al-Qur’an, Rasulullah menanamkan keimanan terlebih dahulu pada hati para sahabat beliau. Sebagaimana diceritakan oleh Sahabat Jundub di atas.